BAB I
PENDAHULUAN
A, Latar Belakang Masalah
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokonya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam laulintas permbayran serta peredaran uang yang beroprasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya. prinsip syariah adalah perjanjian yang berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan atau kegitan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Prinsip dasar operasional bank syariah tidak mengenal adanya konsep
bunga uang dan yang tidak kalah pentingya adalah untuk tujuan komersial, Islam
tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/ kerjasama (mudharabah
dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya
dimungkinkan untuk tujuan social tanpa adanya imbalan apapun. Prinsip utama
operasional bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah hukum Islam yang bersumber
dari Al Qur’an dan Al Hadist.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Dasar Falsafat Bank Syari’ah
2.
Perbedaan Antara System Bunga dan Bagi Hasil
3.
Dasar Hukum Bank Syari’ah di Indonesia
4.
Konsep Dasar Operasionalisasi Sistem Syari’ah
5.
Prinsip-prinsip Dasar Operasional Bank Syari’ah
6.
Produk Operasional Bank syari’ah di Indonesia
BAB II
DASAR
FALSAFAT DAN HUKUM BANK SYARI’AH
1. DASAR
FALSAFAT BANK SYARI’AH
Islam
memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah kepada
manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini, untuk dipergunakan sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini, Allah
tidak meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikannya petunjuk melalui para
rasulnya. Dalam petunjuk itu, Allah memberikan segala
sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak maupun syari’ah.
Bank syariah merupakan bank yang secara operasional mengatur berdasarkan syariat
islam. Salah satu ciri khas bank syariah yaitu tidak menerima atau membebani
bunga pada nasabah, akan tetapi menerima atau membebankan bagi hasil serta
imbalan lain sesuai dengan akad-akad yang diperjanjikan. Konsep dasar bank
syariah tak terlepas didasarkan pada al-Quran dn hadis Rasulullah SAW.
Menurut
kelompok kami, konsep perbankan yang ada pada bank syariah sendiri sudahlah
sangat baik, dimana nasabah sudah tidak lagi berhubungan dengan yang namanya
bunga, dari produk-produk yang ada di bank syariah, karena bank syariah
tidaklah membebani dengan bunga melainkan dengan sistem bagi hasil serta
imbalan yang lain sesuai dengan akad-akad yang sudah disepakati antara pihak
bak dan nasabah itu sendiri, sehingga pihak nasabah dan bank menjadi saling menguntungkan.
Melihat
kenyataan ini syari’ah Islam sebagai suatu syari’at yang dibawa Rasul terakhir
mempunyai keunikan tersendiri, ia bukan saja komprehensif tetapi juga universal.
Sifat-sifat istimewa ini mutlak diperlukan sebab tidak akan ada syari’at lain
yang datang untuk menyempurnakannya. Komprehensif berarti ia merangkum seluruh aspek
kehidupan baik ritual maupun sosial (ibadah
maupun muamalah). Ibadah diperlukan dengan tujuan untuk menjaga ketaatan, dan
harmonisnya hubungan manusia dengan khaliqnya, serta untuk mengingatkan secara
kontinu tugas manusia sebagai khalifah. Sedangkan universal bermakna ia dapat diterapkan
dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti.
Setiap lembaga syari’ah mempunyai
falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebijakan didunia dan akhirat diantaranya :
1.
Menjauhkan diri dari unsur riba
a)
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan
suatu usaha (Q.S Lukman: 34).
b)
Menghindari penggunaan sistem persentasi untuk pembedaan biaya terhadap hutang
atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung hutang atau
melipatgandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena
berjalannya waktu (Q.S. Ali Imron: 130).
c)
Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan
imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kualitas maupun kuantitas.
d)
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai
hutang secara sukarela.
2.
Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan
Dengan
mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarahayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap
transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar bagi hasil dan
perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang
dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa
uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong
kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit,
spekulasi dan inflasi.
2. PERBEDAAN ANTARA SISTEM BUNGA DAN
BAGI HASIL
Ajaran
islam mendorong kepada warga masyarakat untuk melakukan praktik bagi hasil
serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik
dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata dan mendasar. Pembagian
hasil usaha dapat diaplikasikan dengan model bagi hasil. Bagi hasil yang
diterima atas hasil usaha, akan memberikan keuntungan bagi pemilik modal yang
menetapkan dananya dalam kerjasama usaha.
Bunga juga memberikan
keuntungan kepada pemilik dana atau inverstor. Namun keuntungan yang diperoleh
pemilik dana atas bunga tentunya berbeda dengan keuntungan yang diperoleh dari
bagi hasil. Keuntungan yang berasal dari bunga sifatnya tetap tanpa
memerhatikan hasil usaha pihak yang dibiayai, sebaliknya keuntungan yang
berasal dari bagi hasil akan berubah mengikuti hasil usaha pihak yang
mendapatkan dana.
Dianataranya perbedaan yaitu :
Tabel 1.
Bunga
|
Bagi hasil
|
Besarnya
bunga ditetapkan pada saat perjanjian dan mengikuti kedua pihak yang
melaksanakan perjanjian dengan asumsi bahwa pihak penerima pinjaman akan
sealu mendapatkan keuntungan.
|
Bagi hasil ditetapkan
dengan rasio nisbah yang disepakati antara pihak yang melaksanakan akad pada
saat akad dengan berpedoman adanya kemungkinan keuntungan atau kerugian.
|
Besarnya bunga yang
diterima berdasarkan perhitungan persentase bunga dikalikan dengan jumlah
dana yang dipinjamkan
|
Besarnya bagi hasil
dihitung berdasarkan nisbah yang diperrjanjikan dikalikn dengan jumlah
pendapatan atau keuntungan yang diperoleh
|
Jumlah bunga yang diterima
tetap, meskipun usaha peminjam meningkat atau menurun.
|
Jumlah bagi hasil akan
dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan keuntungan. Bagi hasil akan
berfluktuasi.
|
System bunga tidak adil,
karena tidak tekait dengan hasil usaha peminjam
|
System bagi hasil adil,
karena perhitungan berdasarkan hasil usaha.
|
Eksistensi bunga diragukan
oleh semua agama.
|
Tidak ada agama satupun
yang meragukan. system bagi hasil.
|
Secara
mendasar persoalan tersebut dapat dikaji dari berbagai sisi, sebagaimana
terletak dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.
HAL
|
SISTEM
BUNGA
|
SISTEM
BAGI HASIL
|
Penentuan
besarnya hasil
|
Sebelumnya
|
Sesudah
berusaha, sesudah untungnya.
|
Yang ditentukan
sebelumnya
|
Bunga,
besarnya nilai rupiah
|
Menyepakati
proporsi pembagian untung untuk masing-masing pihak, misalnya 50:50, 40:60,
35: 65, dst.
|
Jika
terjadi kerugian
|
Ditanggung
oleh nasabah saja
|
Ditanggung
kedua pihak, nasabah dan lembaga
|
Dihitung
dari mana?
|
Dari dana
yang dipinjamkan, fixed, tetap
|
Dari
untung yang bakal diperoleh, belum tentu besarnya
|
Titik
perhatian proyek/usaha
|
Besarnya
bunga yang harus dibayar nasabah/pasti diterima bank
|
Keberhasilan
proyek/usaha jadi perhatian bersama (nasabah dan lembaga)
|
Berapa
besarnya?
|
Pasti. (%)
kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui
|
Proporsi
(%) kali jumlah untung yang belum diketahui = belum diketahui
|
Status
hukum
|
Berlawan
dengan Q.S. Luqman: 34
|
Melaksanakan
Q.S. Luqman: 34.
|
Jadi menurut kelompok
kami sudah perbedaan antara sangat sistem bunga yang diterapkan pada bank konvensional dan sistem bagi hasil yang
diterapkan pada pada bank syari’ah sudah sangat jelas lebih menguntungkan
sistem perbankan syari’ah dimana pihak nasabah dan pihak bank sama-sama saling
menguntungkan antara satu dengan yang lain.
Dimana dalam sistem
bunga yang ditetapkan oleh pihak bank konvensional lebih cendrung akan
menguntungkan pihak bank/ investor saja, padahal tidak selamanya nasabah
mendapatkan keuntungan di setiap bulannya. Sedangkan dengan adanya sistem bagi
hasil dalam bank syari’ah menjadi harapan bagi para nasabah, dimana proses
pembagiannya keuntungannya sangat adil sesuai hasil yang diperoleh di setiap
bulannya.
3.
DASAR
HUKUM BANK SYARIAH DI INDONESIA
Bank syariah secara yuridis normatif
dan yuridis empiris diakui keberadaannya di negara Republik Indonesia.
Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Diantaranya,
undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Perbankan, Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas
undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Kemudian
posisi perbankan syari’ah semakin pasti setelah disahkan UU Perbankan No. 7
tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang
akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan-keuntungan bagi
hasil. Dengan
terbitnya PP No. 72 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan
batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga), sebaliknya
pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (pasal 6)”, maka jalan
bagi operasional Perbankan Syari’ah semakin luas.
Kini perkembanganya telah tercapai dengan disahkannya UU No. 10 tahun 1998
tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan
bank syari’ah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi
sistem syari’ah. Namun, UU No. 10
tahun 1998 ini sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No. 72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas pasal 6 UU No.
10 tahun 1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional
dapat juga melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syariah melalui:
1. Pendirian
kantor cabang atau dibawah kantor cabang baru
2. Pengubahan kantor
cabang atau dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Akan tetapi, Bank Syari’ah di Indonesia juga dibatasi oleh
pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syai’ah (DPS). Hal yang terakhir
ini memberikan implikasi bahwa setiap produk bank syari’ah mendapatkan
persetujuan dari Dewan Pengawas Syari’ah terlebih dahulu sebelum perkenalan
kepada masyarakat. Beberapa revisi pasal yang dianggap penting, dan
merupakan aturan hukum yang secara leluasa bank dapat
menggunakan istilah syari’ah adalah.
1.
Pasal 1 ayat 12 menyatakan “Pembiayaan berdasarkan
prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
2.
Pasal 1 ayat 13 berbunyi “Prinsip
syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam bank dengan pihak
lain untuk menyimpan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah antara lain pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil(Mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal(Musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan(Murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan(Ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain(Ijarah
wa iqtina).
3.
Ketentuan pasal 6 huruf m diubah, sehingga pasal 6 huruf m menjadi berbunyi
sebagai berikut: “Menyediakan pembiayaan
dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syari’ah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
4.
Ketentuan pasal 13 huruf c diubah, sehingga pasal 13 huruf c menjadi bunyi
sebagai berikut “Menyediakan pembiayaan
dan penempatan dana berdasarkan Prinsip syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Jadi, denga adanya dasar-dasar
hukum positif inilah yang dijadikan pijakan bagi bank Islam Indonesia dalam mengembangkan produk-produk dan
operasionalnya. Berdasarkan hukum positif tersebut, bank Islam di Indonesia
sebenarnya memiliki keleluasan dalam mengembangkan produk dan aktivitas
operasionalnya.
Peraturan Bank Indonesia yang
berkaitan dengan bank syari’ah di Indonesia, meliputi:
1.
Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, berikut penjelasannya.
2.
Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang antar bank
Berdasarkan Prinsip Syari’ah, berikut
penjelasannya.
3.
Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia, berikut penjelasannya.
4.
Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha Bank
Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Syari’ah dan Pembukaan Kantor
Bank BerdasarkanPrinsip Bank
Syari’aholeh Bank Umum Konvensional, berikut penjelasannya.
5.
Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek bagi Bank Syari’ah, berikut penjelasannya.
6.
Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif
Bagi Bank Indonesia, berikut penjelasannya.
7.
Peraturan Bank Indonesia No. 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva
bagi Bank Syari’ah, berikut penjelasannya.
4.
KONSEP DASAR OPERASIONALISASI SISTEM BANK
SYARI’AH
Kerangka kegiatan muamalah secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga bagian besar diantaranya
adalah:
1.
Politik
2.
Sosial
3.
Ekonomi
Berbeda dengan sistem lainnya, Islam
mengajarkan pola konsumsi yang moderat
(tengah-tengah), tidak belebihan tidak juga keterlaluan. Lebih jauh, dengan
tegas Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 27 melarang terjadinya perbuatan tabdzir. Adapun bunyi
ayat tersebut adalah sebagai berikut:
¨bÎ)tûïÍ‘Éj‹t6ßJø9$#(#þqçR%x.tbºuq÷zÎ)ÈûüÏÜ»u‹¤±9$#(tb%x.urß`»sÜø‹¤±9$#¾ÏmÎntÏ9#Y‘qàÿx.ÇËÐÈ
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
(Q.S. Al-Isra’: 27).
Seharusnya
dengan adanya doktrin Al-Qur’an ini secara ekonomi dapat diartikan mendorong
terpuruknya surplus konsumen dalam bentuk simpanan, untuk dihimpun, kemudian
dipergunakan dalam membiayai investasi, baik untuk perdagangan, produk dan jasa.
Dari hasil musyawarah para ahli ekonomi Muslim beserta para ahli
fiqih dari Academi Fiqih di Mekkah pada tahun 1973, dapat disimpulkan
bahwa konsep dasar hubungan ekonomi berdasarkan syari’ah Islam dalam sistem
ekonomi Islam ternyata dapat diterapkan dalam operasional lembaga keuangan bank
maupun non bank. Penerapan atas konsep tersebut terwujud dengan munculnya
lembaga keuangan Islam dipersada nusantara ini. Kelima
konsep tersebut adalah.
1.
Sistem simpanan
2.
Bagi hasil
3.
Margin keuntungan
4.
Sewa
5.
Jasa
5.
PRINSIP-PRINSIP DASAR OPRASIONAL BANK
SYARI’AH
Prinsip utama operasional
bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al
Qur’an dan Al Hadist. Kegiatan operasional
bank harus memperhatikan perintah dan larangan kedua sumber tersebut. Larangan
terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai
riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah dengan
bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau
jasa atas dana.
Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah
tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem
imbalan atas dana yang digunakan atau ditipkan oleh suatu pihak. Penentuan
imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank
didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Perlu diakui
bahwa ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa sistem bunga yang
ditetapkan oleh bank konvensional merupakan pelanggaran terhadap prinsip
syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara
lain.
- Pembayaran terhadap pinjaman
dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan
sebelumnya tidak diperbolehkan.
- Pemberi dana harus turut
berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang
meminjam dana.
- Islam tidak memperbolehkan
"menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media
pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
- Unsur Gharar (ketidakpastian,
spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan
baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
- Investasi hanya boleh diberikan
pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras
misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
6. PRODUK OPRASIONAL BANK SYARI’AH DI INDONESIA
Secara garis besar, hubungan ekonomi
berdasarkan syari’ah Islam tersebut ditentukan oleh hubungan aqad yang terdiri dari lima konsep dasar
Aqad. Bersumber dari kelima konsep
dasar inilah dapat ditemukan produk-produk lembaga keuangan bank syari’ah yang dioperasionalkan di Indonesia
1.
Prinsip Simpanan Murni (al-Wadi’ah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh
Bank Syari’ah untuk memberikan kesempatan kepada pihak bank yang kelebihan dana
untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-wadi’ah.
Fasilitas al-wadi’ah biasa diberikan
untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya giro dan
tabungan. Dalam dunia perbankan konvensionalal-wadi’ah
identik dengan giro.
2.
Bagi Hasil (syirkah)
Sistem ini adalah suatu sistem yang
meliputi tata cara pembagian bagi hasil usaha antara penyedia dana dengan
pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan
penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk
yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah
dan musyarakah.
3.
Prinsip Jual Beli (at-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem
yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu
barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan
pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan(Margin).
4.
Prinsip Sewa (al-Ijarah)
Prinsip ini secara garis besar
terbagi kepada dua jenis yaitu (1) ijaroh
, sewa murni, seperti halnya
menyewakan traktor dan alat-alat produk lainya. Dalam tekhnik perbankan, Bank
dapat membeli dahulu apa yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam
waktu dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah.(2) bai’ al takjir atau ijarah al
muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si
penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease).
5.
Prinsip Jasa/Fee (al-Ajr Walumullah)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan
non pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini
antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa, Transfer, dan lain-lain.
Secara syari’ah prinsip ini didasarkan pada konsep al ajr wal umulah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Dengan
mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap
transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar bagi hasil dan
perdagangan atau transaksinya. Hal yang mendasar yang membedakan antara lembaga
keuangan non syari’ah dan syari’ah adalah terletak pada pengambilan dan
pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan atau
yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Oleh karena itu, munculah
istilah bunga dan bagi hasil.
Bank Syari’ah ini berprinsip bahwa
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
sesuai dengan syariah. Prinsip dasar operasional bank syariah tidak mengenal
adanya konsep bunga. Operasional
produk bank syari’ah di Indonesia dijadikan berdasarkan undang-undang
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, yaitu Undang-undang No. 10 tahun 1998 dan Undang-undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999.
Dengan begitu produk bank
syari’ah mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syari’ah terlebih dahulu
sebelum perkenalan kepada masyarakat.
Saran
Umat Islam diharapkan dapat memahami
perkembangan bank syariah dan mengembangkannya apabila dalam posisi sebagai
pengelola bank syariah yang perlu secara cermat mengenali dan mengidentifikasi
semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang potensial untuk pengembangan bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Manajemen Bank
Syari’ah,Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
2005
Prof. Dr.H, Ali
Zainuddin,Hukum Perbankan Syari’ah,Jakarta:Sinar Grafika Offset,2008
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta:
Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1999.
Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta:
UII Press, 2000.
Muhammad, Manajemen Bank
Syari’ah,Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
2005, hal.73.
Muhammad, Manajemen Bank
Syari’ah, Op Cit,hal. 75.
Muhammad Syafe’i Antonio, Bank
Islam Teori dan Praktik, Jakarta: Tazkia Institute bekerja sama dengan Gema
Insani Press, 2001.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Ibid, Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Op Cit
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta:
Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1999.
Budi Santoso, A. Totok,dkk. (2000). Bank & Lembaga Keuangan Lain.
Jakarta: Salemba Empat
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
(Yogyakarta : Ekonisia)
Muhammad Syafe’I
Antonio, Bank Islam: Teori dan Praktik, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000.